Bagus.
Beri tahu aku, Harry,” kata si Kepala Sekolah (dan sekarang suaranya terdengar hanya kebingungan, walau masih ada sedikit rona kesakitan di matanya), “kenapa para Penyihir Kegelapan sebegitu takut terhadap kematian?”
“Er,” kata Harry, “maaf, aku harus mendukung para Penyihir Kegelapan untuk yang itu.”
Whoosh, hiss, chime; glorp, pop, bubble -
“Apa?” kata Dumbledore.
“Kematian itu buruk,” kata Harry, membuang kebijaksanaan demi komunikasi yang jelas. “Sungguh buruk. Teramat sangat buruk. Menjadi takut terhadap kematian itu seperti menjadi takut terhadap monster besar dengan taring-taring beracun. Itu sebenarnya sangat masuk akal, dan tidak, pada kenyataannya, menandakan kalau kamu memiliki masalah psikologi.”
Sang Kepala Sekolah sedang menatap ke arahnya seolah dia baru saja berubah menjadi seekor kucing.
“Oke,” kata Harry, “biarkan aku menempatkannya seperti ini. Apakah kamu ingin mati? Karena kalau memang seperti itu, ada suatu hal Muggle yang disebut dengan hotline pencegahan bunuh diriтАУ”
“Ketika sudah saatnya,” kata si penyihir tua dengan perlahan. “Tidak sebelumnya. Aku tak akan pernah mencoba mempercepat hari itu, atau mencoba menolak ketika hari itu tiba.”
Harry mengerutkan dahi dengan keras. “Itu tak terdengar seperti kau memiliki suatu keinginan untuk hidup yang sangat kuat, Kepala Sekolah!”
“Harry тАж .” Suara si penyihir tua mulai terdengar sedikit tak berdaya; dan dia berjalan ke satu tempat di mana janggut peraknya, tanpa disadari, hanyut ke dalam mangkuk ikan mas kaca kristalin, dan dengan perlahan mengambil semburat kehijauan yang memanjati rambutnya. “Aku pikir aku tak membuat diriku sendiri cukup jelas. Para Penyihir Kegelapan tidak bersemangat untuk hidup. Mereka takut mati. Mereka tidak menggapai ke arah sinar matahari, tapi lari dari malam yang datang ke dalam gua buatan mereka sendiri yang tak terhingga lebih gelap, tanpa bulan atau bintang. Bukanlah kehidupan yang mereka inginkan, tapi keabadian; dan mereka sebegitu terdorong untuk menggapainya hingga mereka akan mengorbankan jiwa mereka sendiri! Apakah kamu ingin hidup selamanya, Harry?”
“Ya, dan demikian juga denganmu,” kata Harry. “Aku ingin hidup satu hari lagi. Besok aku masih tetap ingin hidup sehari lagi. Dengan demikian aku ingin hidup selamanya, bukti dengan induksi pada bilangan bulat positif. Jika kamu tak ingin mati, itu artinya kamu ingin hidup selamanya. Jika kamu tak ingin hidup selamanya, itu artinya kamu ingin mati. Kamu harus melakukan salah satu atau yang lain тАж aku tak membuatmu cukup paham, bukan begitu.”
Kedua kultur saling memandang satu sama lain menyeberangi suatu jurang ketaksebandingan yang sangat luas.
“Aku sudah hidup selama seratus dan sepuluh tahun,” kata si penyihir tua dengan perlahan (mengambil jenggotnya keluar dari mangkuk, dan menggoyangkannya untuk mengguncangkan warnanya). “Aku sudah melihat dan melakukan banyak hal, terlalu banyak yang mana aku harap aku tak pernah lihat atau lakukan. Dan tetap aku tak menyesal masih hidup, karena menyaksikan para muridku tumbuh adalah kegembiraan yang masih belum mulai memudar bagiku. Tapi aku tidak berharap untuk hidup cukup lama sampai saat itu tiba! Apa yang akan kau lakukan dengan keabadian, Harry?”
Harry mengambil napas dalam-dalam. “Bertemu dengan seluruh orang-orang yang menarik di dunia, membaca seluruh buku-buku bagus dan kemudian menulis sesuatu yang lebih baik lagi, merayakan pesta ulang tahun kesepuluh cucu pertamaku di Bulan, merayakan pesta ulang tahun keseratus cucu dari cucu pertamaku di Cincin Saturnus, mempelajari aturan Alam terdalam dan terakhir, memahami sifat dari kesadaran, mencari tahu kenapa sesuatu itu ada pada awalnya, mengunjungi bintang-bintang lain, menemukan alien, menciptakan alien, bertemu kembali dengan semua orang untuk suatu pesta di sisi lain Bima Sakti begitu kita sudah menjelajahi semuanya, bertemu dengan semua orang yang lain yang lahir di Bumi Lama untuk melihat Matahari akhirnya padam, dan aku dulu pernah khawatir tentang menemukan suatu cara untuk melarikan diri dari alam semesta ini sebelum dia kehabisan negentropy tapi aku jauh lebih memiliki harapan sekarang saat aku menemukan bahwa hal-hal yang disebut dengan hukum fisika itu hanyalah pedoman opsional.”
“Aku tak begitu memahami hal-hal tadi,” kata Dumbledore. “Tapi aku harus bertanya apakah semua ini adalah hal-hal yang sungguh benar-benar kamu inginkan, atau jika kamu hanya membayangkan mereka untuk membayangkan dirimu tak lelah, selagi kamu berlari dan berlari dari kematian.”
“Kehidupan bukanlah daftar hal-hal terbatas yang kamu coret satu persatu sebelum kamu diizinkan untuk mati,” kata Harry dengan tegas. “Itulah kehidupan, kamu hanya terus menjalaninya. Jika aku tidak melakukan hal- hal tadi itu karena aku sudah menemukan hal yang lebih baik.”
Dumbledore menghela napas. Jari-jarinya mengetuk pada satu jam; saat mereka menyentuhnya, angka- angkanya berubah menjadi suatu tulisan tak terpahami, dan jarumnya sesaat muncul di posisi berbeda. “Dalam suatu kemungkinan kecil di mana aku diizinkan untuk tinggal sampai seratus dan lima puluh,” kata si penyihir tua, “aku tak berpikir akan keberatan. Tapi dua ratus tahun akan sepenuhnya terlalu banyak hal baik.”
“Ya, memang,” kata Harry, suaranya sedikit kering saat dia memikirkan Mum dan Dadnya dan jangka waktu yang diberikan bagi mereka jika Harry tak melakukan sesuatu atasnya, “aku curiga, Kepala Sekolah, bahwa jika kamu datang dari suatu kebudayaan di mana orang-orang biasanya hidup sampai empat ratus tahun, bahwa mati di usia dua ratus akan terasa tragis terlalu dini sama seperti mati di usia, sebut saja, delapan puluh.” Suara Harry membatu, di kata terakhir itu.
“Mungkin,” kata si penyihir tua penuh damai. “Aku tak berharap untuk mati sebelum para temanku, atau terus hidup setelah mereka semua tiada. Waktu tersulit adalah ketika mereka yang paling kamu cintai pergi sebelum dirimu, dan masih yang lain tetap hidup, demi siapa kamu harus tetap tinggal тАж .” Mata Dumbledore terpaku pada Harry, dan bertambah sedih. “Jangan meratapiku terlalu dalam, Harry, ketika waktuku tiba; aku akan bersama mereka yang sudah sangat kurindukan, pada petualangan besar kami selanjutnya.”
“Oh!” kata Harry dalam kesadaran seketika. “Kau mempercayai adanya alam baka. Aku memperoleh suatu kesan kalau para penyihir tak memiliki agama?”
Toot. Beep. Thud.
“Bagaimana bisa kamu tak mempercayainya?” kata si Kepala Sekolah, terlihat benar-benar ternganga