“Dia membelikanku buku.”
Draco menimbang-nimbang. “Itu tak terdengar sangat mengesankan.”
“Kamu harus lihat sendiri. Bagaimanapun, aku lega mendengar itu semua. Cara Lucius kemarin memandangmu, kukira dia akan meny-menyalibkanmu.”
“Ayahku benar-benar mencintaiku,” kata Draco tegas. “Dia tidak akan melakukan itu.”
“Um тАж” kata Harry. Dia mengingat sosok elegan berjubah hitam, berambut putih yang bergegas masuk ke toko Madam Malkin, memegang tongkat yang indah, bergagang perak mematikan. Itu tak mudah membayangkan dia sebagai ayah yang cinta anak. “Jangan salah sangka dulu, tapi bagaimana kamu tahu tentang itu?”
“Huh?” Sudah jelas kalau ini adalah pertanyaan yang tidak biasa Draco tanyakan pada dirinya sendiri.
“Aku bertanya pertanyaan dasar tentang rasionalitas: kenapa kamu percaya hal yang kamu percaya? Apa yang kamu pikir kamu tahu dan bagaimana kamu pikir kamu mengetahuinya? Apa yang membuatmu berpikir bahwa Lucius tak akan mengorbankanmu dengan cara yang sama seperti dia mengorbankan hal lain demi kekuasaan?”
Draco memberi Harry tatapan aneh lagi. “Apa saja yang kamu tahu tentang Ayah?”
“Um тАж mempunyai kedudukan di Wizengamot, kedudukan di Dewan Sekolah Sihir Hogwarts, sangat kaya, punya telinga Menteri Fudge, punya kepercayaan diri Menteri Fudge, mungkin punya beberapa foto-foto memalukan Menteri Fudge, penganut darah murni paling menonjol sekarang sesudah Pangeran Kegelapan lenyap, mantan Pelahap Maut yang ditemukan memiliki Tanda Kegelapan tapi berhasil lolos dengan mengaku sedang berada dalam pengaruh Kutukan Imperius, yang konyolnya sangat tak masuk akal dan sedikit banyak semua orang juga sudah mengetahuinya тАж jahat dengan huruf kapital ‘J’ dan terlahir sebagai pembunuh тАж kukira itu semuanya.”
Mata Draco mengecil sampai cuma celah. “McGonagall yang mengatakan itu, ya kan.”
“Tidak, dia tidak mengatakan apapun padaku tentang Lucius setelahnya, kecuali untuk memperingatkanku supaya menjauhinya. Jadi waktu terjadi Insiden di Toko Ramuan, waktu Profesor McGonagall sedang sibuk dan mencoba untuk mengendalikan keributan, aku menggapai salah satu pelanggan dan bertanya pada mereka tentang Lucius.”
Mata Draco melebar lagi. “Apa benar?”
Harry memberi Draco ekspresi bingung. “Kalau aku membohongimu pertama kali, aku tak akan mengatakan yang sebenarnya hanya karena kamu bertanya dua kali.”
Ada diam yang kentara saat Draco menyerap hal ini.
“Kau benar-benar akan masuk ke Slytherin.”
“Aku benar-benar akan masuk ke Ravenclaw, terima kasih banyak. Aku cuma menginginkan kekuasaan supaya aku bisa memperoleh buku.”
Draco tertawa kecil. “Yeah, benar. Bagaimanapun тАж untuk menjawab pertanyaanmu тАж” Draco mengambil nafas panjang, dan wajahnya berubah serius. “Ayah pernah sekali tidak mengikuti pengambilan suara Wizengamot untukku. Waktu itu aku terbang dengan sapu dan aku jatuh dan mematahkan beberapa tulang rusuk. Itu benar-benar menyakitkan. Aku belum pernah terluka seperti itu dan aku kira aku akan mati. Jadi Ayah tak mengikuti pengambilan suara yang begitu penting ini, karena dia di sana di samping ranjangku di St. Mungo, menggenggam tanganku dan berjanji bahwa aku akan baik-baik saja.”
Harry mengalihkan pandangan merasa tak nyaman, kemudian, dengan berusaha, memaksa dirinya untuk memandang balik ke Draco. “Kenapa kamu menceritakanku yang tadi? Itu sepertinya suatu hal yang тАж pribadi тАж”
Draco memberi Harry tatapan serius. “Salah satu tutorku pernah berkata orang membentuk suatu persahabatan dekat dengan mengetahui hal-hal pribadi tentang satu sama lain, dan alasan kebanyakan orang tak bisa mendapat teman dekat adalah karena mereka terlalu malu untuk berbagi apapun yang benar-benar penting tentang diri mereka sendiri.” Draco membuka tangannya menyambut. “Giliranmu?”
Mengetahui bahwa ekspresi penuh harap Draco mungkin sudah terpatri dalam dirinya melalui berbulan-bulan latihan tidak mengurangi keefektifannya, Harry mengamati. Sebenarnya itu memang membuatnya kurang efektif, walau sayangnya bukan tidak efektif. Hal yang sama bisa dikatakan tentang pemakaian cerdas Draco atas tekanan tindakan balasan untuk pemberian tanpa pamrih, satu teknik yang Harry pernah baca dalam buku-buku psikologi sosial miliknya (satu eksperimen sudah menunjukkan bahwa satu hadiah $5 tanpa syarat dua kali lebih efektif dibanding penawaran bersyarat $50 dalam membuat orang mengisi satu survey). Draco sudah memberi Harry satu tindakan kepercayaan diri tanpa pamrih, dan sekarang mengundang Harry untuk menawarkan kepercayaan diri sebagai balasannya тАж dan masalahnya, Harry memang merasa tertekan. Penolakan, Harry yakin akan bertemu dengan pandangan kecewa, dan mungkin sedikit kekecewaan yang menandakan bahwa Harry sudah kehilangan poin.
“Draco,” kata Harry, “supaya kamu tahu, aku tahu benar apa yang kamu coba lakukan sekarang. Bukuku sendiri menyebutnya resiprokasi dan mereka membicarakan tentang bagaimana seseorang yang memberi hadiah langsung dua Sickle ternyata lebih efektif daripada menawari mereka dua puluh Sickle ketika mereka ingin membuat mereka melakukan sesuatu yang kamu mau тАж” Harry memperpanjang kalimatnya.
Draco terlihat sedih dan kecewa. “Itu tak dimaksudkan sebagai trik, Harry. Itu adalah cara nyata untuk menjadi teman.”
Harry mengangkat satu tangan. “Aku tidak bilang kalau aku tak akan merespon. Aku cuma butuh waktu untuk memilih sesuatu yang pribadi tapi juga sama-sama tak merusak. Sebut saja тАж aku ingin kau tahu bahwa aku tak bisa diburu-buru untuk mengambil keputusan.” Satu waktu diam untuk merefleksi bisa sangat berpengaruh dalam meredam kekuatan teknik kerelaan, setelah kamu belajar untuk mengenali mereka untuk apa bentuk mereka sebenarnya.
“Baiklah,” kata Draco. “Aku akan tunggu sementara kamu memikirkannya. Oh, dan tolong buka scarf itu selagi kamu mengatakannya.”
Sederhana tapi efektif.
Dan Harry tak bisa tidak memperhatikan betapa kikuk, canggung, memalukan tindakannya untuk menolak manipulasi/menyelamatkan muka/menyombong terlihat dibandingkan Draco. Aku butuh tutor-tutor itu.
“Baiklah,” Harry berkata setelah beberapa waktu. “Ini punyaku.” Dia memandang sekeliling dan kemudian