“Aku akan pergi sebentar selagi kamu mengepas jubahmu,” kata Profesor McGonagall. “Apakah kamu tak masalah dengan itu, Tn. Potter?”
Harry mengangguk. Dia membenci belanja pakaian dengan hasrat membara dan tak akan menyalahkan sang penyihir untuk merasakan hal yang sama.
Tongkat Profesor McGonagall keluar dari lengannya, mengetuk kepala Harry perlahan. “Dan karena kamu harus terlihat jelas untuk Madam Malkin, aku menghilangkan Penggelapan-nya.”
“Uh тАж .” Kata Harry. Itu membuatnya sedikit khawatir; dia masih belum terbiasa dengan seluruh perkara ‘Harry Potter’ ini.
“Aku belajar di Hogwarts dengan Madam Malkin,” kata McGonagall. “Bahkan waktu itu, dia adalah satu orang yang paling tenang dari semua yang kutahu. Dia tak akan menggubris bahkan kalau Kau-Tahu-Siapa sendiri masuk ke tokonya.” Suara McGonagall terdengar bernostalgia, dan sangat mengakui. “Madam Malkin tak akan mengganggumu, dan dia tak akan membiarkan orang lain mengganggumu.”
“Kamu akan pergi ke mana?” tanya Harry. “Hanya untuk, kau tahu, kalau sesuatu memang terjadi.”
McGonagall memberi Harry tatapan keras. “Aku akan pergi ke sana,” katanya, menunjuk ke bangunan di seberang jalan yang memajang tanda tong kayu, “dan membeli minuman, yang aku sangat butuhkan. Kamu akan mengepas jubahmu, tidak lebih. Aku akan kembali untuk memeriksamu secepatnya, dan aku harap untuk menemukan toko Madam Malkin masih tetap berdiri dan tidak dalam bentuk apapun, terbakar.”
Madam Malkin adalah wanita tua sibuk yang tak mengatakan sepatah katapun tentang Harry ketika ia melihat bekas luka di dahinya, dan ia memberi tatapan tajam pada asistennya ketika gadis itu terlihat akan mengatakan sesuatu. Madam Malkin mengeluarkan seperangkat potongan-potongan kain yang bergerak, menggeliat yang dipakai sebagai pita pengukur dan langsung bekerja memeriksa medium karya seninya.
Di sebelah Harry, bocah pucat dengan wajah tajam dan rambut pirang-putih keren-mengagumkan yang tampaknya sedang menjalani tahap akhir dari proses yang sama. Salah satu dari dua asisten Malkin sedang memeriksa bocah rambut-putih dan jubah berpola papan catur yang dipakainya; sesekali dia akan mengetuk ujung jubah dengan tongkat sihirnya, dan jubah itu akan melonggar dan mengetat.
“Halo,” kata si bocah. “Hogwarts, juga?”
Harry bisa menebak ke arah mana perbincangan ini akan berakhir, dan dalam frustasi sesaat bahwa cukup adalah cukup.
“Astaga,” bisik Harry, “tak mungkin.” Dia membiarkan matanya melebar. “Nama тАж anda, tuan?”
“Draco Malfoy,” kata Draco Malfoy, terlihat sedikit bingung.
“ini memang kamu! Draco Malfoy. AkuтАУaku tak pernah menyangka akan memperoleh kehormatan ini, tuan.” Harry berharap dia bisa membuat air mata keluar dari matanya. Orang-orang biasanya mulai menangis di titik ini.
“Oh,” kata Draco, terdengar sedikit kebingungan. Kemudian bibirnya memanjang membentuk senyuman sombong. “Sangat menyenangkan bertemu seseorang yang tahu diri.”
Salah satu asisten, yang sepertinya mengenali Harry, membuat suara batuk tertahan.
Harry terus mengoceh. “Saya senang sekali bertemu denganmu, Tn. Malfoy. Sangat-sangat gembira. Dan menghadiri Hogwarts di tahun yang sama denganmu! Itu membuat jantungku jatuh pingsan.”
Oops. Bagian terakhir itu mungkin terdengar sedikit ganjil, seolah dia sedang berusaha merayu Draco atau apa.
“Dan aku puas mengetahui aku akan diperlakukan dengan hormat yang memang seharusnya diberikan pada keluarga Malfoy,” si bocah melempar balik, ditemani senyuman seperti yang biasa dilimpahkan oleh raja-raja tertinggi ke atas subjeknya, kalau subjeknya itu benar-benar tulus, walau miskin.
Eh тАж . Sial, Harry kesulitan mengarang kalimat selanjutnya. Yah, semua orang memang ingin berjabatan dengan tangan milik Harry Potter, jadiтАУ“Sesudah pakaianku selesai, tuan, sudikah anda menjabat tangan saya? Aku tak berharap lebih untuk menggenapkan hari ini, tidak, bulan ini, sungguh, seluruh masa hidupku.”
Si bocah berambut-pirang-putih membalas dengan tatapan tajam. “Dan apa yang sudah kamu lakukan untuk keluarga Malfoy yang membuatmu pantas untuk kemurahan hati semacam itu?”
Oh, aku benar-benar akan mencoba kata-kata itu untuk orang berikutnya yang ingin menjabat tanganku. Harry menundukkan kepalanya. “Tidak, tidak, tuan, saya mengerti. Saya minta maaf atas itu. Aku seharusnya sudah merasa terhormat untuk membersihkan sepatumu, tentu saja.”
“Benar,” bentak si bocah lain. Ekspresi kerasnya melembut entah kenapa. “Katakan, menurutmu kamu akan dimasukkan ke Asrama apa? Aku jelas ke Asrama Slytherin, tentu saja, seperti ayahku Lucius sebelum aku. Dan untukmu, kupikir Asrama Hufflepuff, atau mungkin Asrama Elf.”
Harry meringis malu. “Profesor McGonagall berkata kalau aku adalah orang paling Ravenclaw yang pernah ia lihat atau dengar dari legenda, sampai-sampai Rowena sendiri yang harus menyuruhku untuk lebih sering keluar, entah apapun artinya itu, dan kalau aku pasti akan ditempatkan di Asrama Ravenclaw kalau si topi tidak berteriak terlalu keras pada hingga yang lain tak bisa mengeluarkan satu katapun, akhir kutipan.”
“Wow,” kata Draco Malfoy, terdengar sedikit terkesan. Sang bocah membuat desahan sayu. “Sanjunganmu begitu baik, atau paling tidak itu yang kupikir, bagaimanapunтФАkamu akan cocok di Asrama Slytherin, juga. Biasanya hanya ayahku yang memperoleh penyembahan macam itu. Aku harap Slytherin lain akan menjilatku sekarang aku di Hogwarts тАж kurasa ini adalah pertanda baik, kalau begitu.”
Harry berdeham. “Sebenarnya, maaf, aku benar-benar tak tahu siapa kamu.”
“Oh ayolah!” kata si bocah dengan kekecewaan sengit. “Kalau begitu, kenapa kamu sampai melakukan itu?” Mata Draco seketika melebar dengan kecurigaan. “Dan bagaimana kamu tak tahu tentang keluarga Malfoy? Dan pakaian macam apa itu yang kamu kenakan? Apakah orang tuamu Muggle?”
“Dua orangtuaku sudah wafat,” kata Harry. Hatinya tertusuk. Waktu ia menyebutnya seperti ituтФА“Dua orangtua lainku adalah Muggle, dan merekalah yang membesarkanku.”
“Apa?” kata Draco. “Siapa sebenarnya kamu?”
“Harry Potter, senang bertemu denganmu.”